Mengupas Kembali Makna Rangkaian Macapat Jawa
(Pernah dimuat di Media Hindu No.74 April 2010)
Oleh : Miswanto
Pada MH Edisi 69 bulan Nopember yang lalu telah dimuat tulisan dari Saudara Purwadi yang berjudul ˝Potret Perjalanan Hidup Manusia dalam Macapat Jawa˝. Pada tulisan itu, Purwadi menyebutkan fase-fase kehidupan manusia Jawa dikiaskan dalam rangkaian tembang Macapat Jawa yang diawali dari Mijil hingga Pucung.
Setelah membaca dengan cermat tulisan tersebut saya tergerak untuk ikut mengupas kembali makna rangkaian tembang macapat Jawa tersebut. Dari perspektif alur dan makna, pemahaman saya agak sedikit berbeda dengan apa yang sudah disampaikan oleh Purwadi tersebut. Menurut saya, makna yang terkandung dalam rangkaian tembang Macapat Jawa tersebut adalah sebuah rangkaian alur kehidupan dan keberadaan manusia (ontologi), cara menemukan hakikat hidup yang benar (epistemologi) dan sekaligus mengandung nilai-nilai etik Jawa (aksiologi). Dalam hal ini ketiga unsur tersebut adalah kerangka yang membangun filsafat Jawa itu sendiri.
Dalam filosofi Jawa, fase kehidupan manusia bersifat sirkuler (dari A ke Z lalu kembali A lagi) bukan linear (dari A ke Z). Jika filosofi tersebut juga berlaku untuk rangkaian tembang Macapat Jawa, maka mestinya rangkaian unsur-unsur dalam tembang Jawa juga harus bersifat sirkuler. Unsur-unsur yang dimaksud adalah guru gatra, yang menyatakan banyaknya baris dalam setiap bait; guru wilangan, yang menyatakan banyaknya suku kata dalam tiap-tiap larik; dan guru lagu, menyatakan unsur bunyi pada suku kata terakhir pada tiap-tiap gatra atau larik.
Oleh karena itu, untuk memaknai nilai filosofis dalam rangkaian tembang Macapat tersebut maka penulis merangkainya dengan urutan sebagai berikut : Maskumambang (4 gatra), Mijil (6 gatra), Kinanthi (6 gatra), Sinom (9 gatra), Asmarandana (7 gatra), Gambuh (5 gatra), Dhandhanggula (10 gatra), Durma (7 gatra), Pangkur (7 gatra), Megatruh (5 gatra), dan Pucung (4 gatra). Dari struktur guru laghu dan guru wilangan pun rangkaian tersebut bersifat sirkuler yakni Maskumambang diawali dengan 12a (guru wilangan ˝12˝ dan guru lagu ˝a˝) dan Pucung diakhiri dengan 12a. Dengan demikian dalam perspektif struktur dan alur, rangkaian tersebut sudah tersusun secara filosofis. Hal ini juga selaras dengan urutan tangga nada tembang Jawa yang diawali dari nada 1 (baca : Ji) dan diakhiri dengan nada 1 aksen (baca : Pi).
Selanjutnya, makna yang tersirat dalam rangkaian tembang tersebut juga mengkiaskan tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi Jawa yang juga tersusun secara sirkuler sejak dalam rahim ibu kandung hingga ke rahim ibu pertiwi. Berikut ini kupasan makna dalam rangkaian tembang yang dimaksud yang saya sarikan dari buku saya yang berjudul ˝Esensi Falsafah Jawa bagi Peradaban Umat Hindu, 2009).
Maskumambang menyiratkan tentang keberadaan manusia ketika masih menjadi bayi dalam rahim atau kandungan sang ibu. Kata “mas” artinya “tidak diketahui laki-laki atau perempuan”. Kata “kumambang“ artinya “terapung”. Jadi maskumambang diartikan sebagai sesuatu yang belum diketahui apakah itu laki-laki atau perempuan yang kumambang dalam rahim ibunya (gua garbha). Dalam rahim inilah ia terapung talipusatnya dan belum bisa diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan.
Kemudian ketika si bayi dilahirkan ia akan keluar dari gua garbha sang ibu. Ini dilambangkan dengan tembang Mijil. Kata “mijil” berarti “keluar”. Jadi bayi yang keluar dari rahim sang ibu atau lahir ke dunia disebut dengan istilah Jawa “mijil sakeng gua garbha sang biyung“.
Setelah itu si bayi akan tumbuh menjadi seorang anak kecil. Pada masa ini ia harus kinanthi atau disertai, ditungui atau dibimbing oleh seorang pembimbing artinya anak harus melalui proses pendidikan (paedagogiek). Fase merupakan lambang dari tembang Kinanthi. Sesuai asal katanya “kanthi“ yakni ˝serta atau nanti˝, maka seorang anak yang masih kecil harus disertai oleh seorang pembimbing. Pada saat ini seseorang mulai belajar di sekolah (brahmacari).
Seiring dengan berjalannya waktu, maka anak akan tumbuh menjadi remaja atau bocah ênom atau ênom-noman (taruna). Fase ini dilambangkan lewat tembang Sinom. Sinom juga merupakan nama bagi daun pohon asam yang masih muda. Dalam istilah konotasi Bahasa Indonesia orang yang masih muda belia dikatakan sebagai “daun muda”.
Pada masa muda inilah maka seseorang sudah waktunya mengenal rasa cinta. Ini merupakan kodrat manusia sebagai makhluk yang juga dilahirkan dari benih-benih cinta. Masa ini digambarkandalam bentuk tembang macapat Asmarandana. Hal ini sesuai dengan arti kata-kata yang membentuk gabungan kata “asmarandana“. Kata “asmara” berarti “cinta” dan “dana” artinya “memberi”. Dengan demikian kata asmarandana berarti saling memberi dan menerima cinta. Ada pula yang mengartikan kata “ndana” ini dari kata “dahana” yang artinya “api”. Maksudnya ketika masa muda ini api cinta seseorang akan berkobar-kobar dan sangat sulit untuk dipadamkan.
Sehabis memasuki masa-masa indah atau masa berpacaran yang didasarkan pada rasa cinta tersebut, maka kedua insan itu harus diberikan persetujuan (sarujuk) sebagai obat (gambuh) yang bisa menurunkan panasnya kobaran api cinta mereka. Ini dilambangkan dengan adanya tembang Gambuh sebagaimana maksud dari tembang itu sendiri. Dan gambuh yang dimaksud adalah upacara perkawinan (wiwaha homa). Setelah itu mereka harus melanjutkannya ke jenjang hidup berumah tangga (bebrayan) untuk satu tujuan yakni kebahagiaan hidup bersama (jagadhita)
Tatkala itulah mereka mulai mengarungi bahtera rumah tangganya baik dalam suka maupun duka. Ini dilambangkan dengan tembang Dhandhanggula. Kata “dhandang” berarti “burung gagak” yang melambangkan kesedihan atau duka. Sedangkan kata “gula” berarti “gula” yang mempunyai rasa manis sebagai lambang kebahagiaan atau sukha. Untuk itulah maka setiap keluarga dalam masyarakat Jawa harus mampu melampui kehidupan berumah tangga tersebut yang kadang-kadang manis seperti gula tetapi kadang kala mereka juga harus mau untuk menelan pil pahit sebagai obat untuk menjadikan mereka lebih tangguh, tanggon dan tanggap dalam setiap keadaan.
Di sela-sela perjalanan untuk menggapai semua cita-cita dalam hidup berumatangga tersebut, maka mereka diwajibkan untuk dapat memberikan yang terbaik (drêma), baik untuk keluarga (terutama anak-istrinya), sesamanya, masyarakat, bangsa dan negara. Kewajiban tersebut pada hakikatnya merupakan dharmaning bêbrayan agung (dharma bagi mereka yang sudah berumah tangga atau grhastha). Kesemua itu merupakan lambang dari tembang Durma. Kata durma ini sendiri berkaitan erat secara fonologis dengan kata derma atau drêma. Karena perubahan bunyi, maka ˝derma˝ bisa menjadi ˝durma˝.
Setelah melewati bahtera rumah tangga maka sudah saatnya mereka mulai mengurangi hawa nafsu dan mungkur dari hal-hal yang berbau kemewahan dunia (wanaprastha) apalagi mereka sudah mulai uzur. Hal ini dilambangkan dengan tembang Pangkur. Kata ini berasal dari kata “pungkur” atau “mungkur” yang berarti “belakang, sudah lewat, lalu”. Dalam tradisi Jawa setelah manusia menginjak usia tua dan melewati masa berumahtangga (pungkur) maka ia harus bisa menjadi sêsêpuh minimal bagi keluarga sendiri agar bisa memberikan petuah-petuah kepada anak cucunya. Dan memang dalam khasanah sastra Jawa tembang Pangkur ini biasanya banyak mengandung petuah-petuah yang berisikan pada ngelmu tuwa guna memperbaiki (nyepuh) sesuatu agar menjadi baik kembali.
Dalam usianya yang semakin tua setelah menjalani hidup pasca berumahtangga, maka bagi manusia di dunia hanyalah tinggal menunggu giliran datangnya Sanghyang Yamadipati yang akan menjemput ajalnya. Untuk itu sebelumnya mereka harus mempersiapkan bekal yang cukup agar kelak ketika ia mati (mêgatruh) atmannya tidak bingung lagi. Kondisi ini merupakan perlambang yang merupakan kiasan pada tembang Megatruh. Kata ini berasal dari kata “pêgat” yang berarti “putus” dan “ruh” yang berarti “nyawa”. Artinya putusnya hubungan antara nyawa dengan badan. Selain itu, secara badani ia sudah megat trah (berpisah dengan keturunannya).
Setelah mati (megatruh) maka atman akan meninggalkan badan manusia di dunia yang fana ini. Badan wadag yang ditinggalkan itu biasanya akan dirawat sebagaimana ia merawat dirinya ketika masih hidup. Jasadnya akan dimandikan hingga akhirnya dibungkus dengan kain putih (dipocong). Ini adalah makna dari adanya tembang Pucung yang juga berarti pocong. Setelah dipocung atau dipocong maka ia akan dikembalikan ke rahim ibu pertiwi untuk disemayamkan di sana. Selain itu, jika pada saat di dalam rahim ibu kandungnya ia ditemani sadulur papat (lambang Maskumambang dengan guru gatra 4), maka pada saat dipocong di rahim ibu pertiwi tersebut ia harus mengembalikan sadulur papat-nya (lambang Pucung dengan guru gatra 4) hingga nantinya ia dapat kembali kepada gustinya (manunggaling kawula gusti atau moksa).
Menyimak uraian di atas, maka terpenuhilah aspek filosofis yang terkandung dalam struktur alur dan makna rangkaian tembang macapat Jawa tersebut. Hal ini pula yang semestinya harus dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia agar ia bisa hidup secara tata (teratur), titi (berhati-hati dan selalu eling lan waspada), tatag (tabah menjalaninya) dan akhirnya akan tutug (tercapai tujuan akhirnya).