Segera terbit Buku “Sesorah, Pranatacara, lan Pangujub Jawa”. Buku yang berisi pedoman, panduan, serta contoh-contoh pidato (sesorah), dan pembawa acara (pranatacara) yang menggunakan bahasa Jawa. Selain itu buku ini juga berisi donga ujub-ujub (sehe) dari upacara-upacara yang ada di Jawa mulai dari manusia lahir sampai meninggal serta upacara-upacara yajna lainnya seperti methik pari, bersih desa, dan lain-lain yang disertai dengan petunjuk serta keterangan sesajinya.
Yang menjadi keistimewaan dari buku ini adalah semua kata-kata yang ada di dalamnya menggunakan tanda diakretik yang menunjukkan “swara jejeg, swara miring, petunjuk pelafalannya, dll”. Jadi cocok untuk pemula yang baru belajar bahasa dan sastra Jawa.
Untuk order dan pemesanan silahkan melalui form di bawah ini.
(Jika buku sudah terbit nanti akan dihubungi dan diberitahukan besaran dan cara pembayarannya termasuk ongkirnya)
Otak Etik Jawa dalam Cerita Aji Saka
Oleh : Miswanto
Sejarah Jawa tentu tidak akan mengabaikan cerita Aji Saka yang banyak disebutkan dalam kesusastraan Jawa. Cerita ini memang masih menjadi misteri antara ada dan tiada mengingat nama Aji Saka tidak ada dalam silsilah raja-raja tanah Jawa. Namun demikian cerita Aji Saka ini dianggap sebagai landasan mitologis-historis dari keberadaan aksara Jawa.
Dalam mitologi Aji Saka, Jawa dikatakan masih “kosong” sebelum kedatangan Aji Saka atau yang juga dikenal sebagai Empu Sengkala. Ki Ranggawarsita dalam Serat Paramayoga menuliskan bahwa mulanya Aji Saka adalah seorang raja dari negeri Surati di Hindustan pada masa Pancamakala. Setelah madeg pandita beliau bergelar Empu Sengkala (Berg, 1974).
Empu Sengkala mempunyai 2 orang murid yang bernama Dora dan Sembada. Dalam banyak tulisan tentang Jawa, Dora disebutkan sebagai murid yang suka berbohong, sedangkan Sembada dikenal sebagai murid yang setia dan jujur. Setelah mendapat petunjuk dari para dewa agar melaksanakan dharmayatra ke Jawa, Sang Empu pun berangkat bersama muridnya yang bernama Dora demi tugas suci tersebut. Namun, sebelum berangkat ia memberikan mandat kepada Sembada untuk menjaga keris pusakanya. Ia berpesan agar keris itu jangan diberikan kepada orang lain selain dirinya sendiri.
Ketika Empu Sengkala melaksanakan perjalanan suci tersebut, Pulau Jawa kala itu dikuasai oleh raja berwatak raksasa yang kejam dan suka makan manusia. Raja ini dikenal dengan nama Dewatacengkar. Sesampainya di Jawa Empu Sengkala tergerak untuk membebaskan tanah Jawa dari hegemoni kekuasaan raja tersebut. Singkat cerita, Empu Sengkala berhasil mengalahkan Dewatacengkar berkat destar-nya.
Setelah berhasil mengalahkan Dewatacengkar, Empu Sengkala pun naik tahta menjadi raja tanah Jawa dan bergelar Prabu Aji Saka. Dalam waktu yang tidak lama Prabu Aji Saka berhasil menata perikehidupan di tanah Jawa. Selanjutnya, karena kesibukannya sebagai raja, maka Sang Aji Saka mengutus Dora untuk mengambil keris pusakanya pada Sembada. Tetapi ia lupa akan pesannya pada Sembada agar keris itu tidak diberikan kepada orang lain selain dirinya sendiri.
Sembada tidak mau menyerahkan keris pusaka dengan alasan untuk menjaga mandat sang Guru. Akhirnya, terjadilah peperangan sengit antara Dora dan Sembada yang sama-sama mendapat tugas dari Aji Saka. Peperangan ini berlangsung selama berhari-hari dan berakhir dengan kematian kedua utusan itu.
Merasa khawatir setelah sekian lama tak ada kabar dari kedua muridnya maka Aji Saka mengutus dua orang punggawanya, Duga dan Prayoga untuk membawa Dora dan Sembada menghadap Aji Saka. Duga dan Prayoga pun berangkat untuk menemui Dora dan Sembada. Namun mereka menemukan keduanya sudah menjadi mayat. Lalu mereka pun pulang dan menyampaikannya kabar kematian kedua murid Aji Saka itu. Mendengar kabar itu, Aji Saka pun kaget dan merasa bersalah. Dalam suasana kesedihannya itu Sang Aji Saka pun menandai kematian kedua muridnya itu dengan carakan aksara Denta Wyañjana yang kini dikenal sebagai Aksara Jawa.
Carakan aksara Jawa tersebut terdiri atas 20 buah aksara yakni ꦲꦤꦕꦫꦏ꧈ꦢꦠꦱꦮꦭ꧈ꦥꦝꦗꦪꦚ꧈ꦩꦒꦧꦛꦔ꧉ (HaNaCaRaKa, DaTaSaWaLa, PaDHaJaYaNYa, MaGaBaTHaNGa). Jika diartikan, maka carakan aksara Jawa tersebut akan menggambarkan cerita tentang Dora dan Sembada sebagaimana telah diungkap sebelumnya. Kata hanacaraka berarti ada utusan; datasawala berarti terus-menerus (berkelahi); padhajayanya artinya sama-sama kuat; dan magabathanga berarti sama-sama menemui ajalnya.
Jika dikaji lebih lanjut dengan pendekatan Othak Athik Matuk (OAM) Jawa yang merupakan metode dalam epistemologi Jawa, maka cerita Aji Saka ini mempunyai kaitan yang sangat erat dengan Otak Etik Jawa (OEJ) itu sendiri. Karena sebelum kedatangan Aji Saka, Jawa dikatakan masih “kosong” dalam artian peradabannya. Dan Aji Saka-lah yang menjadi otak lahirnya peradaban Jawa itu sendiri.
Secara etimologis, kata aji sebenarnya merupakan manifestasi dari ilmu pengetahuan. Kata ini dapat diartikan sebagai “kitab suci/Weda”. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam cuplikan-cuplikan pada sastra dan susastra Hindu yang sering menuliskan kata “ling ning aji” untuk menyatakan “kata atau sabda Weda”. Lalu kata “saka” berasal dari akar kata “sak” yang berarti “membawa”. Kata “saka” sendiri dapat diartikan sebagai “tonggak atau tiang”. Pada perumahan Jawa tempo dulu dan juga rumah adat Bali, saka adalah tiang yang digunakan sebagai penyangga rumah. Dengan demikian maka kata “aji saka” dapat dimaknai sebagai “orang yang membawa, mengemban dan memegang teguh kitab suci atau ilmu pengetahuan sebagai tiang penyangga kehidupannya”. Hindu memandang orang yang demikian dikatakan sebagai orang yang selalu bertongkatkan sastra (ateken ring sastra).
Di samping itu, dalam cerita Aji Saka ini terdapat beberapa nama tokoh, setting dan instrumen yang mempunyai makna filosofis terkait OEJ. Adapun nama-nama yang dimaksud adalah Medang Kamulan, Dewata Cengkar, destar pandita atau brahmana, Dora Sembada, Duga Prayoga dan Aksara. Berikut penjelasan dari masing-masing nama tersebut.
Medang Kemulan, berasal dari kata “meda” yang berarti “kebutaan atau nafsu” dan “mula” yang berarti “asal”. Artinya pada mulanya negara ini adalah negara yang penuh dengan kebutaan atau kegelapan (awidya) sebelum kedatangan Aji Saka.
Dewata Cengkar melambangkan orang yang telah memisahkan diri atau melakukan perbuatan makar terhadap dewata (Tuhan). Hal ini sebagaimana arti asal kata “cengkar” berarti “cerai-berai, makar ” dan kata “dewata” yang berarti “Tuhan beserta manifestasi-Nya”.
Destar dari brahmana yang bernama Aji Saka ini mengisyaratkan pada buddhi atau kecerdasan itu sendiri. Dengan buddhi maka Dewata Cengkar dapat dikalahkan. Kemudian kata “brahmana” mengandung maksud orang yang selalu mencari pengetahuan untuk mencapai jiwa tertinggi.
Dora oleh masyarakat Jawa sudah divonis sebagai orang yang jahat dan suka menipu. Penafsiran semacam ini perlu diluruskan karena tidak mungkin brahmana sekaliber Aji Saka mau menerima murid seperti Dora. Dan tidak ada tradisi Parampara di India yang menerima murid tanpa melihat dedikasi mereka terlebih dahulu (Lihat Cerita Bhagawan Dhomya dan ketiga muridnya dalam Adiparwa).
Kata “dora” ini bertalian secara filologis dengan kata Sanskerta “dora” yang berarti “sebuah tali”. Sementara itu kata “sembada” berkaitan erat sengan kata Sanskerta “sambadha” yang berarti “tekanan, sukar” dan kata “sambodha” yang artinya “kesenangan”. Jadi sesungguhnya tali yang mengikat manusia dalam kehidupan itu berupa kesenangan duniawi yang sukar untuk dihilangkan. Namun setelah Dora dan Sembada tewas dalam pertempuran timbulah aksara Jawa. Ini merupakan pralambang bahwa untuk mencapai kehidupan yang kekal atau abadi maka seseorang perlu meninggalkan ikatan yang berupa kesenangan indriawi.
Kata duga prayoga dalam pemahaman masyarakat Jawa saat ini mempunyai makna sopan santun. Akan tetapi terkait dengan makna filosofis matinya Dora Sembada dan penciptaan aksara Jawa, secara harfiah kata “duga” dapat diartikan “hasil akhir” (dari kata Sanskerta “dugha“). Sedangkan kata prayoga berasal dari dua kata para dan yoga. Kata “para” dapat diartikan “jauh atau paling tinggi”. Sementara kata “yoga” dapat diartikan sebagai “penyatuan, hubungan atau kontak, “. Dengan demikian kata prayoga di sini bisa diartikan sebagai penyatuan atau hubungan mistis yang tertinggi (manunggaling kawula lan gusti).
Secara filosofis Duga dan Prayoga tersebut mengisyaratkan hasil akhir (sesuai dengan makna yang terkandung pada namanya) dari pencarian ilmu pengetahuan bagi seorang brahmana yang bernama Aji Saka. Buktinya pada cerita Aji Saka tersebut, mereka hanya disebut-sebut pada akhir cerita setelah kematian Dora dan Sembada yang dimaknai sebagai lenyapnya kesenangan indrawi pada orang yang selalu menggunakan pengetahuan suci sebagai tongkat atau tiangnya (Aji Saka).
Instrumen yang terakhir adalah aksara. Kata ini berasal dari kata Sanskerta “aksara” yang berarti “abadi, kekal atau kebahagiaan”. Aksara adalah suatu kebahagiaan dalam kehidupan di alam maya ini. Ia juga lambang kehidupan yang abadi.
Jika dirangkaikan dari awal hingga akhir maka cerita Aji Saka tersebut melambangkan pendakian puncak keabadian (aksara) oleh seorang pencari ilmu pengetahuan (brahmana) yang selalu berpedoman pada sastra suci (Weda) sebagai pegangan hidupnya (aji saka). Pendakian ini diawali dengan melenyapkan ketidakpercayaan terhadap Tuhan (Dewata Cengkar) atau atheisme dan selalu mengendalikan kebutaan nafsu (medang kamulan). Kemudian yang terakhir adalah dengan melenyapkan kesenangan indrawi sebagai ikatan duniawi (dora – sembada). Barulah ia dapat mencapai hasil akhir yang berupa penyatuan mistis / manunggal dengan Gusti atau Tuhannya (duga – prayoga). Jika semua itu sudah dijalani dan dialami maka ia pun akan mencapai puncak kesempurnaan (moksa) atau kehidupan yang kekal dan abadi selamanya (aksara). Kesemuanya itu pada dasarnya merupakan OEJ dimana menjadi sumber pemikiran (otak) bagi orang-orang Jawa agar lebih beradab dan beretik.
Wayang di Mata Seorang Penonton
Oleh : Miswanto
(Pernah dimuat di Warta Hindu Dharma No. 454 September 2004 Hal. 25-27)
Bagi masyarakat Indonesia kesenian wayang bukanlah hal yang baru. Wayang adalah sekian dari jenis seni yang mendapatkan tempat tersendiri di hati bangsa Indonesia. Kecintaannya akan wayang menjadikan hasil budaya yang satu ini seolah-olah menjadi bagian dari peri-kehidupan bangsa yang tidak akan diketemukan di negara-negara lain. Di sebagian wilayah Indonesia seperti Jawa dan Bali, wayang merupakan seni yang sudah menjadi tontonan masyarakat sejak jaman purba.
Sebagai seni budaya yang sudah melekat di hati bangsa Indonesia wayang sudah memberikan nuansa tersendiri dalam membentuk peradaban manusia Indonesia. Kendati pun keberadaan wayang di negara kita tidak dapat dijadikan suatu alasan bahwa wayang adalah budaya asli bangsa Indonesia.
Hingga kini belum ada kesepakatan para ahli mengenai asal-usul wayang. Brandes, Hazeu, Rentse, Kats dan Kruyt menyatakan bahwa wayang berasal dari Indonesia (baca : Jawa). Sementara Pischel, Krom, Poensen dan Ras menyebutkan bahwa wayang berasal dari India. Selain itu masih banyak para ahli lain seperti Goslings berpandangan bahwa Cina sebagai asal kebudayaan wayang melalui interpretasinya tentang wayang Ying-hi. Lebih jauh, dewasa ini identifikasi wayang diarahkan terhadap seni teater masa Yunani dan Romawi seperti satyr, cycle, miracle dan sebagainya.
Begitu banyaknya pendapat dari para ahli yang masing-masing membawa teori sesuai bidangnya nampaknya agak sulit untuk menelusuri jejak asal-usul wayang. Namun kalau kita melihat tempat di mana wayang itu hidup, di sana kita temukan bahwa masyarakat pendukungnya tidak begitu mempermasalahkan apa dan dari mana wayang itu. Masyarakat lebih cenderung melihat wayang dari sisi nilainya, Apakah itu nilai estetis, filosofis dan lain-lain. Nilai-nilai inilah yang kemudian menumbuhkan semangat bagi masyarakat pendukung budaya itu untuk tetap melestarikannya.
Di Indonesia (baca : Jawa dan Bali) misalnya. Masyarakatnya menganggap wayang sebagai amanat nenek moyang yang perlu dilestarikan. Oleh karenanya tak mengherankan jika wayang di sini lebih menuansakan tradisi masyarakat yang dipelihara secara turun temurun. Ditambah lagi dengan keberadaannya yang lebih merupakan kesatuan holistik dari unsur-unsurnya ketimbang seni sejenis, seperti teater yang cenderung parsialistik.
Sebagai kesatuan yang holistik, unsur-unsur wayang yang meliputi; dalang, wayang, sarana-sarana dalam pertunjukannya seperti gedebok/pohon pisang, blencong/lampu, kelir dan gamelan/seperangkat alat musik, tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena unsur-unsur tersebut mempunyai makna simbolik yang secara integral menunjuk pada suatu makna.
Pendapa yang kosong sebelum pertunjukkan menandakan kekosongan (sunya). Kelir melambangkan angkasa, pohon pisang yang merupakan simbol dari bumi. Lampu yang merupakan penerang sebagai lambang matahari. Wayang gunungan (kayon) yang melambangkan alam semesta beserta isinya dan wayang sendiri merupakan gambaran dari watak manusia apakah itu kesatria, raksasa (diyu) dan sebagainya yang kesemuanya itu menunjuk pada hukum rwa bhineda. Sedangkan gamelan melambangkan adanya keharmonisan dari segala isi kehidupan sebagaimana alunan irama yang terdengar merdu.
Pada akhir pertunjukkan pendapanya pun kosong. Hal ini dimaksudkan bahwa segalanya diawali dengan ketiadaan dan kembali pada ketiadaan. Inilah sebenarnya yang membedakan struktur lakon wayang dengan lakon drama-drama yang lain. Jika dalam drama atau teater umum lebih banyak dikenal struktur cerita linear (dari A ke Z), maka dalam wayang memiliki struktur cerita sirkuler (dari A kembali ke A).
Senada dengan itu, iringan gamelan pada pertunjukan wayang selalu diawali dengan pathet nem (yang berkunci enam), yang berjalan lambat. Kemudian pada bagian pertengahan pertunjukan dimainkan dengan iringan gamelan pathet sanga (yang berkunci sembilan), yang berjalan cepat. Dan akhirnya, pada bagian akhir iringan gamelan akan menggunakan pathet manyuro (kunci manyuro) yang sebenarnya juga kembali ke kunci enam.
Struktur cerita yang khas (sirkuler) dalam pertunjukkan wayang ini menunjukkan bahwa kehidupan manusia itu selalu berputar bagaikan “cakra manggilingan” yang suatu saat akan bertemu kembali dengan “sangkan paran”, yang memberikan kita hidup. Cerita-cerita yang disajikan dalam wayang pun mengandung sejuta makna yang perlu perenungan.
Jika demikian halnya, maka wayang bagi kita bukan sekedar tontonan yang menyajikan menu instant seperti kesenian pop, dangdut, rock dan sebagainya. Setelah selesai kita menonton kita hanya akan terhibur. Lebih dari itu wayang menyuguhkan masalah yang memerlukan penggalian kemampuan intelektual, kultural, filosofis, etis dan estetis.
Bagi mereka yang “kawogan ing galih” lakon wayang akan dieksplorasikan secara lebih mendetail dan mendalam sehingga menambah khasanah wayang yang sarat dengan makna filsafat, etika atau moral dan religius. Oleh karenanya, dalam tradisi wayang Jawa, sebelum tancep kayon dari pentas wayang kulit, sering kita temukan penampilan wayang golek, yang kesemua itu mengisyaratkan kepada para penonton untuk mencari sendiri hikmah dan kesimpulan yang dianggap sesuai dengan pandangan hidupnya (golek-ana dhewe-dhewe).
Dalam pada itu, selain sebagai tontonan wayang bagi masyarakat Jawa dan Bali juga, wayang juga bisa dijadikan sebagai tuntunan. Artinya setelah kita menonton wayang ada hikmah yang dapat kita ambil apakah itu nilai moralnya, etikanya, religinya dan nilai-nilai lainnya yang bisa kita integrasikan ke dalam pemikiran kita untuk selanjutnya diaplikasikan ke dalam tingkah laku keseharian kita. Sebaliknya apabila setelah kita menonton wayang kita tidak dapat memetik sedikit pun nilai yang terkandung di dalamnya, maka tidak akan jauh berbeda dengan anak-anak yang menonton film-film kartun seperti “Dragon Ball”, “Sinchan”, “Doraemon” dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Lebih-lebih sastra lakon wayang yang umum disuguhkan kepada kita adalah cerita yang dibuat oleh “orang-orang suci” yang mempunyai kadar spiritual yang cukup tinggi. Mahabharata dan Ramayana sudah diakui oleh seluruh sastrawan dunia. Bahkan menurut mereka tidak akan diketemukan lagi di jaman sekarang ini penulis-penulis seperti Valmiki dan Vyasa.
Melihat banyaknya ajaran dan nilai-nilai yang diserap dalam wayang, wajarlah kalau orang Jawa atau bangsa Indonesia menganggap wayang sebagai “ensiklopedi hidup”. Hal ini dapat dibuktikan dengan kelengkapan ajaran-ajaran dan nilai-nilai wayang tentang manusia, alam, Tuhan serta yang paling pokok adalah bagaimana manusia dapat mencapai kesempurnaan hidupnya (kasampurnaning ngagesang).
Selanjutnya unsur yang mempunyai peranan besar dalam pertunjukkan wayang adalah dalang. Seorang dalang adalah skenario, sutradara sekaligus pemain dalam pertunjukkan wayang. Jadi, pada dasarnya menjadi dalang tidak saja harus pandai memainkan wayang pada kelirnya saja, lebih dari itu ia harus ahli gending, ahli tata bahasa, ahli pikir, juru dakwah dan masih banyak lagi kemampuan yang harus dimilikinya. Dalam konteks wayang sebagai tuntunan dalang adalah orang yang memberikan wawasan atau pengetahuan sesuai dengan arti menurut jaran dosoknya yang umum dipakai oleh orang Jawa yaitu “wedha” dan “mulang”.
Sejalan dengan itu, Suwardi Endraswara (2003) memberikan arti dalang dengan mengambil padanan kata dalam bahasa Arab dalla yang berarti menunjukkan ke jalan yang benar. Melihat arti dari dalang itu sendiri, maka tidak salah kalau dalam pertunjukkan wayang, dalang merupakan lambang dari Hyang Purba Wasesa.
Dalam kenyataannya di lapangan seorang dalang tidak selalu sesuai dengan arti kata dan simbol yang dibawanya. Laju perkembangan jaman telah banyak mengubah konsepsi seputar pedalangan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Dalang selaku seniman yang juga masih merupakan makhluk ekonomi harus berpikir melalui pola-pola ekonomi agar “produk” yang dijualnya itu laku keras di pasaran.
Akibatnya, wayang di masa kini tidak ubahnya seperti sinetron-sinetron atau hiburan-hiburan lain yang diperjualbelikan di televisi dengan tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan sponsor sebanyak-banyaknya dan meraih rating semaksimal mungkin. Selanjutnya disadari atau tidak nilai-nilai yang dulu dianggap adi luhung dari wayang sekarang sudah mulai pudar. Jadi wayang tinggal tontonan belaka.
Fenomena semacam ini menjadikan banyak dalang yang cacat. Artinya, ketika “manggung” mereka sering meninggalkan tata krama pedalangan. Jenis-jenis cacat dalang ini pernah ditulis oleh Riyosudibyaprana dalam bukunya “Gegabengan” setengah abad lampau. Dari jenis-jenis cacat dalang tersebut yang kini banyak terjadi diantaranya; sekerah-kerah (tidak menurut pakem), ronggah (tidak tenang, toleh kanan, toleh kiri), ngawur (tindakannya tidak sesuai aturan), lakon (kata-katanya jorok, lacur dan kasar) serta masih banyak lagi cacat-cacat dalang lainnya yang sering menjadi “virus” bagi para dalang di jaman sekarang ini.
Bukti dan fakta di lapangan menunjukkan betapa merosotnya moral para dalang di jaman yang justru disebut-sebut sebagai jaman pasca pencerahan. Di Jawa misalnya, jika kita mau mengamati pertunjukkan wayang saat ini dari jarak dekat, kita bisa saksikan bagaimana seorang dalang mengucapkan kata-kata kasar seperti “jancuk” dan sejenisnya ketika berada di atas panggung. Kalau dulu kita tidak pernah melihat seorang dalang menengok ke belakang, maka sekarang kita bisa saksikan dalang yang bangun dari dampar-nya lalu bernyanyi dan berjoget bersama sinden-nya. Di Bali pun kita juga temui hal-hal yang serupa, misalnya banyak dalang yang hanya menonjolkan keseronokkannya, banyolan, tanpa ada pesan-pesan yang bersifat mendidik para penontonnya.
Belum lagi dengan banyaknya sensasi dalam sastra lakon wayang. Cerita yang dulu sudah menjadi pakem dalam wayang kini tinggal kenangan. Di Jawa, dengan munculnya cerita-cerita “carangan” telah menumbuhsuburkan budaya “prostitusi” sastra dalam lakon wayang. Banyak dalang yang akhirnya hanya asal-asalan membuat lakon cerita agar laku terus.
Di sana-sini kita temukan istilah-istilah pedalangan yang cenderung dibuat-buat. Sehingga dalang yang tadi telah disebutkan sebagai penunjuk jalan kebenaran, justru malah melakukan “kebohongan publik”. Contoh yang bisa kita petik langsung misalnya, senjata Puntadewa yang bernama “Kalimasada” oleh mereka (baca : dalang) yang berkepentingan sering diterjemahkan sebagai “Kalimat Sahadat”, Manduro yang merupakan tempat Baladewa sering diasumsikan sebagai Madura (padahal istana Baladewa adalah Mathura yang juga merupakan nama daerah di India) sehingga beberapa dalang ketika memainkan peran sebagai Baladewa atau Balarama sering memakai logat Madura.
Dari sisi cerita pun sudah banyak dalang yang jauh meninggalkan pakem aslinya yakni Ramayana dan Mahabharata. Jika R. Ng. Ranggawarsita yang menulis Kitab “Pusaka Raja” (sumber lakon para dalang) masih hidup, mungkin Beliau akan kecewa menyaksikan fenomena pedalangan kini yang banyak meninggalkan nilai-nilai etika, filsafat, moral dan spiritual.
Memang sih tidak semua dalang bersikap semacam itu. Masih ada dalang yang tidak hanya memberikan sekedar tontonan, tetapi memang benar-benar ingin memberikan tuntunan kepada penonton. Misalnya, dalang yang juga pengurus Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) di Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Subari yang pernah penulis temui ternyata masih ingin mempertahankan tata krama pedalangan dengan sebaik-baiknya. Bahkan Guru SD yang kini masih aktif memberikan dharma vacana ke pelosok-pelosok desa ini sering kali berdebat dengan dalang-dalang lain karena masalah cerita yang diputarbalikkan, porno, bersifat melecehkan dan sebagainya.
Namun ironisnya, masyarakat sebagai konsumen tidak banyak yang menyukai dalang semacam Subari biarpun mereka adalah orang Hindu. Mereka lebih enjoy dengan pertunjukkan wayang yang banyak humornya. Meski dalam humoriusnya itu kadang kala terselip kata-kata seronok, porno dan kasar.
Demam hiburan membuat masyarakat jarang melihat wayang dari sisi tuntunannya, mereka lebih asyik menonton wayang yang memakai teknologi canggih, ada artis atau pelawaknya, juga hiburan-hiburan lain seperti karaoke dan sebagainya. Meski lakon cerita ngawur, cenderung bedigasan (tidak etis), nir-makna, dan seterusnya masyarakat tetap menerimanya. Bahkan dalang yang semacam ini justru yang lebih laris dari pada dalang yang temenan (benar-benar mengikuti pakem pedalangan).
Kenyataan tersebut seharusnya mampu menjadikan critical point bagi kita umat Hindu yang ajaran-ajaran kita (Ramayana dan Mahabharata) sering dipakai dalam lakon wayang. Jika kita biarkan berlarut-larut pengkaburan cerita dan makna dalam sastra kita, bisa jadi generasi kita mendatang akan kehilangan arah dan mudah terkena “konversi” iman.
Dalam pada itu bagi para orang tua dan tokoh agama sudah seharusnya memberikan wawasan secara intensif kepada anak-anak dan generasi muda kita sedini mungkin mengenai cerita-cerita Itihasa (Ramayana dan Mahabharata) dalam ajaran Hindu agar nantinya mereka tidak mudah percaya pada dalang-dalang yang “cacat” sebagaimana yang telah disinggung di muka. Bila perlu kita bikin film kartun Mahabharata dan Ramayana atau cerita-cerita Tantri yang sarat dengan makna agama, sehingga ke depan hari-hari anak-anak kita tidak dihiasi dengan “Sinchan”, “Doraemon”, “Dragon-Ball” dan film kartun lainnya. Melainkan akan diimbangi oleh kartun Ramayana, Mahabharata atau cerita-cerita Hindu lainnya.
Terlepas dari itu, kalangan seniman yang menggeluti pewayangan juga harus sadar dengan kode etik profesinya. Hendaknya mereka menata kembali tatatanan-tatanan sesuai dengan pakemnya. Jikalau dalam sistem pendidikan Barat ada prinsip bahwa dengan memberikan pendidikan yang tidak berkualitas sama dengan merampas pelan-pelan masa depan bangsa, maka dalam sistem seni semacam wayang mesti berlaku “uger-uger” bahwa memberikan sajian hiburan yang seronok, ngawur, tidak mendidik dan sejenisnya sama dengan meracuni pelan-pelan moral bangsa.
Daftar Bacaan
Amir, Hazim, 1997, Nilai-nilai Etis dalam Wayang, Jakarta : Sinar Harapan.
Endraswara, Suwardi, 2003, Falsafah Hidup Jawa, Tangerang : Penerbit Cakrawala.
Danandjaja, James, 1986, Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain, Jakarta : Grafiti Pers.
Darnawi, Soesatyo, 1982, A Brief Survey of Javanese Poetics, tr.by. Gary Lichtenstein, Jakarta : Balai Pustaka.
Miswanto, 2003, “Keris, Warisan Budaya Penuh Makna”, “Warta Hindu Dharma”, 442 : 10 – 13.
Miswanto, 2004, “Simbolisme dalam Budaya Jawa – Hindu”, Warta Hindu Dharma, 450 : 25 – 28
Sujamto, 1997, Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa, Yogyakarta: Dahara Prize.
Suseno, Frans Magnis, 1988, Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta : Gramedia.
Zoetmulder, P.J., 1994, Kalangwan : Sastra Jawa Kuno, Selayang Pandang, Terj. Dick Hartoko, Jakarta : Djambatan.